Syahdan, negeri kucing hitam sedang riuh. Kacau. Pendeta agung meong meong yang dihormat di seluruh negeri mangkat, dan pendeta yang seharusnya menggantikan menjaga kuil suci menghilang tepat di malam sebelum hari penobatan. Pasar-pasar riuh. Jalan-jalan ramai. Rakyat tak henti membicarakan kehebohan yang mengguncang seluruh negeri.
Beberapa hari sebelumnya, sesuai adat yang berlaku dijunjung ratusan tahun, pendeta dengan jenggot terpanjang akan menggantikan posisi pendeta agung yang ditinggalkan. Sehari sebelum penobatan, miauw-pendeta yang terpilih mengutarakan ketidak inginannya menggantikan pendeta agung. Maka para pendeta dan keluarga kerajaan pun riuh menentangnya. Adat suci yang berlaku ratusan tahun harus dijunjung, kata mereka. Upacara suci telah memilihnya menjadi pendeta agung yang baru. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan pendeta agung selain dirinya.
“Aku masih terlalu muda untuk ini”, kata miauw dalam pelariannya.
Ia memacu kudanya cepat menuju perbatasan negeri. Lari sejauh-jauhnya. Secepat-cepatnya. Menghindari kejaran pasukan kerajaan yang mengejarnya dengan kecepatan penuh. Ketika matahari terbenam, ia sampai ke negeri kucing hutan. Dilihatnya sekelompok suku kucing hutan bertarung melawan serbuan puluhan perompak klan guk guk. Terpanggillah naluri ksatria si miauw. Dengan sekuat tenaga dipaculah kudanya menyerang para perompak. Sigap, si miauw merebut salah satu pedang. Diayunkannya kuat. Memberai barisan perompak kocar kacir. Si miauw tidak berhenti. Pedangnya terus mengayun. Menghunus. Menebas musuhnya tanpa ampun. Ketika rona merah di langit menghilang, ketua klan perompak telah roboh tertebas amukan pedang si miauw. Sisa-sisa perompak kabur tunggang langgang. Melarikan diri sejauh jauhnya.
“Terima kasih atas pertolonganmu”, kata kucing tetua kucing hutan. “Bukan, masalah. Sesama kucing memang harus tolong menolong.”, jawab si miauw rendah hati. Para kucing hutan beristirahat setelah pertarungan panjang tadi. Kemah-kemah didirikan. Api unggun besar dinyakalan. Para kucing hutan berkumpul mengelilingi api unggun. Khidmat. Ketua suku kucing hutan terbunuh dalam pertempuran. Saatnya ketua suku yang baru dipilih untuk memimpin suku. Kucing tertua berdiri paling dekat dengan api unggun. Memulai posesi pemilihan ketua suku yang baru dengan tenang.
“Adakah yang ingin mengajukan diri menjadi ketua suku yang baru?”, tanya tetua suku. Para kucing hutan adalah suku kucing yang paling demokratis. Hampir semua hal diputuskan dengan diskusi egalitarian. Dan seperti sebelum-sebelumnya, ketua suku selalu dipilih dengan musyawarah yang mufakat.
“Adakah yang ingin kalian ajukan menjadi ketua suku?”, para kucing hutan masih terdiam. “Bagaimana dengan si miauw?”, kata salah satu kucing hutan. Meskipun dia bukan kucing hutan, dia kucing yang pemberani. Dia mahir bertarung. Dia akan membantu kita melewati hari-hari yang sulit ketika para perompak dari klan guk guk datang menyerang kembali.
Para kucing hutan pun riuh berdiskusi. Si miauw hanya diam mendengarkan dari sudut salah satu tenda. Sebelum bulan mencapai puncak langit, si miauw menghilang.
“Aku belum pantas untuk ini.”, kata miauw dalam pelariannya.
Ia memacu kudanya perlahan. Mengendap-endap. Agar tak terdengar klan kucing hutan yang tamasyuk berdiskusi. Sebelum matahari terbit, ia sampai di sebuah sungai. Lelah. Lapar. Ia menambatkan kudanya di sebuah pohon. Berjalan ke arah sungai perlahan, membasuh muka. Membersihkan dirinya dari sisa-sisa perjalanan. Ketika matahari meninggi, rasa lelah dan kantuknya membuatnya tertidur.
Ia terbangun ketika seekor kucing putih membangunkannya. “Kamu sepertinya dari negeri yang sangat jauh.”, kata si kucing putih seraya menyodorkan segelas minuman segar. Si Miauw mengangguk seraya tersenyum. “Apa nama tempat ini?”, tanyanya. Ini negeri kucing putih. Negeri para kucing petarung. Pohon ini bukan tempat yang bagus untuk beristirahat. Kamu bisa ke rumahku jika kamu mau. Bukankah sesama kucing harus saling menolong?
Pagi hari setelahnya, si miauw menemukan seisi kota sedang riuh ramai. Mungkin ini hari besar di negeri kucing, pikirnya. Ia berpamitan pada si kucing putih dan berjalan-jalan ke tengah kota. Dilihatnya, para kucing berkumpul memadati alun alun. Dua ksatria negeri kucing bertarung dengan gagah diatas panggung. Melompat. Menyerang. Beradu kemahiran mengayunkan pedang kayu. Tapi pertarungan itu tidak seimbang. Kucing yang lebih besar jauh lebih mahir berpedang dari kucing belang yang lebih kecil. Setelah beberapa kali serangan, si kucing belang terjungkal keluar arena. Meninggalkan si kucing pemenang berdiri lantang di tengah arena. Penonton riuh bersorak.
“Adakah penantang lain?”, serunya lantang. “Majulah ke depan dan bertarunglah denganku”. Naluri ksatria si miauw pun bergolak. Ditambah dengan rasa penasaran dan hati yang berdebar-debar. Ia tak kuasa menolak ketika kakinya tanpa sadar berjalan ke depan. Melaju ke arena.
“Namaku Rawrrr…siapa namamu?”, sambut si kucing besar dengan hormat. “Aku miauw”, jawab miauw seraya mengambil pedang kayu. Gong berbunyi lantang. Kedua kucing pun beradu di tengah arena. Si miauw memulai serangan dengan sebuah tusukan cepat. Rawrrr berkelit dengan ringan meskipun tubuhnya besar. Membalas dengan sebuah sabetan kuat ke arah kepala. Miauw menangkis dan mundur sejenak. Menjejak kaki ke bumi. Lalu tak terduga melompat ke arah Rawrrr. Menyambarkan pedangnya kuat-kuat. Rawrrr berkelit kesamping dan menyambungnya dengan jurus-jurus serangan cepat.
Kedua kucing beradu seimbang di arena. Miauw terus menyerang dengan gerakannya yang lincah, dan Rawrrr mengimbanginya dengan elakan dan serangan-serangan yang kuat. Ketika matahari hampir mencapai puncak langit, kedua kucing terengah-engah kelelahan. Rawrrr yang telah bertarung lebih lama mulai kesulitan menghindari serangan-serangan cepat. Ia mulai menyerang beruntun. Tak memberi nafas untuk miauw. Miauw mulai terdesak. Tangkisan-tangkisannya mulai lemah. Pedang kayu yang terayun kuat hampir meretakkan kepalanya andai saja dia tak berkelit dengan cepat. Ia melompat kuat ke belakang. Mengambil nafas. Rawrrr mengejarnya dengan pedang yang terhunus cepat ke depan. Miauw berkelit ke samping. Menghentak bumi, melompat cepat ke depan. Mengayunkan kaki cepat ke arah tengkuk. Panggung berdebum. Miauw terengah-engah menyaksikan lawannya tersungkur ke belakang. Penonton hening menahan nafas.
“Apa kau baik-baik saja?”, tanya miauw. Rawrrr masih tertidur telentang. Mengatur nafas, lalu tertawa. “Kau hebat, anak muda”. Penonton pun bersorak riuh. Panjang umur Raja! Panjang umur Raja! Panjang umur Raja!
Si Miauw tertegun. Ia tak lagi sempat berkelit ketika penonton mengangkat tubuhnya ke atas. Mengaraknya keliling kota dan meneriakkan, “Raja baru! Raja Baru! Panjang umur Raja Miauw!”. Sesuai adat yang berlaku dan dijunjung di negeri kucing putih, setiap setahun sekali diadakan pertarungan besar di alun-alun ibukota. Para penantang, melawan raja. Raja baru akan dipilih ketika sang penantang berhasil mengalahkan raja lama.
Matahari condong ke barat. Sekitar waktu ashar. Ketika arak-arakan itu kembali ke alun alun kota. Raja baru yang terpilih dituntun masuk ke ruangan khusus untuk persiapan penobatan esok hari. “Biarkan aku sendiri”, kata miauw. Para pelayan dan penjaga istana pun berlalu pergi. Miauw menutup pintu biliknya rapat-rapat.
Ketika bulan tepat di puncak langit, Istana kerajaan heboh. Raja baru melarikan diri. Miauw dengan cerdik menyelinap diantara kepungan penjaga. Melewati tembok istana, dan tanpa terendus memacu cepat kudanya ke arah matahari terbit.
“Aku terlalu lemah untuk ini”, katanya dalam pelarian.
Ia memacu kudanya cepat. Hanya berhenti sejenak untuk beristirahat dan makan. Tujuh hari kemudian, ia sampai ke negeri para singa. Negeri para kucing besar yang paling bijak. Ia tertidur di sebuah oase, sampai seekor singa tua membangunkannya. “kau tampak lelah”, sapa singa tua sambil mengelus jenggotnya yang panjang. “Kamu telah menempuh perjalanan jauh. Matamu kuyu. Tubuhmu kurus. Jenggotmu tampak lusuh. Apa yang mengejarmu anak muda?”.
“Aku masih belum siap untuk ini”, jawab miauw. “Aku belum mampu untuk memimpin mereka”. “Iyakah?”, tanya singa tua.
Belum siap? Atau merasa belum siap?. Miauw terdiam tanpa menjawab. Atau jangan-jangan kamu memang tidak menginginkan tugas itu? Apapun itu…Kamu terkena kutukan karena telah melanggar aturan suci para kucing. Kutukan itu akan selalu mengikutimu kemanapun kamu pergi.
===
Setiap kaum kucing mengharuskan mereka memiliki seorang pemimpin. Aturan ini telah mengikat para kucing selama ribuan tahun. Pemimpin ini akan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup rakyatnya, dan mereka dipilih berdasarkan kriteria khusus yang dibuat masing-masing klan kucing. Singkatnya, setiap negeri kucing memiliki kriteria kepemimpinan sendiri dan kucing yang paling mendekati kriteria itulah yang akan diangkat menjadi pemimpin. ini tentang kapasitas personal dan kualitas individu yang dimiliki kucing.
Setiap kucing memiliki kapasitas tertentu. Kucing dengan kapasitas yang lebih besar akan mendapatkan tugas yang jauh lebih besar, dengan tanggung jawab yang lebih besar pula. Dan ini sebuah siklus tugas. Kewajiban, tugas, dan tanggung jawab secara alamiah akan memanggil orang-orang yang punya kapasitas untuk menjalankannya, demi kelangsungan hidup semua kaum kucing. Ketika seekor kucing terlahir, kapasitas-dan kualitas yang melekat pada dirinya akan mengantarkannya pada takdir. Pada sebuah tugas yang harus diembannya. Ketika ia lari dari tugas yang harus diembannya, tugas itu akan dialihkan pada orang selanjutnya yang sanggup mengemban tugas itu.
Tapi ini tidak berarti cerita selesai sampai disini. Secara alamiah, tugas lain-yang setara atau sama dengan tugas yang ditinggalkan akan memanggil si kucing. Meminta untuk dituntaskan. Ironisnya, perjalanan pelariannya seringkali membuat si kucing lebih kuat. Kapasitas dalam dirinya semakin besar. Tugas-tugas baru yang memanggilnya akan semakin besar dan menuntut tanggung jawab yang lebih besar pula.
“Apa nama kutukan itu?”, tanya miauw. “Kutukan kucing berjenggot”, jawab singa tua.
THE END